| Ketua Umum | : Suryadharma Ali |
| Sekretaris Jendral | : Irgan Chairul Mahfidz |
| Didirikan | : 5 Januari 1973 |
| Kantor pusat | : Jl. Diponegoro No.60 10310 Jakarta DKI Jakarta |
| Ideologi | : Islam |
| Kursi di DPR (2009) | : 37 / 560 |
| Situs web | : www.ppp.or.id |
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
adalah sebuah partai politik di Indonesia. Pada saat pendeklarasiannya
pada tanggal 5 Januari 1973 partai ini merupakan hasil gabungan dari
empat partai keagamaan yaitu Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Serikat
Islam Indonesia (PSII), Perti dan Parmusi. Ketua sementara saat itu
adalah H.M.S Mintaredja SH. Penggabungan keempat partai keagamaan
tersebut bertujuan untuk penyederhanaan sistem kepartaian di Indonesia
dalam menghadapi Pemilihan Umum pertama pada masa Orde Baru tahun 1973.
Partai Persatuan Pembagunan (PPP)
didirikan tanggal 5 Januari 1973, sebagai hasil fusi politik empat
partai Islam, yaitu Partai Nadhlatul Ulama, Partai Muslimin Indonesia
(Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam
Perti. Fusi ini menjadi simbol kekuatan PPP, yaitu partai yang mampu
mempersatukan berbagai faksi dan kelompok dalam Islam. Untuk itulah
wajar jika PPP kini memproklamirkan diri sebagai “Rumah Besar Umat Islam.”
PPP didirikan oleh lima deklarator yang
merupakan pimpinan empat Partai Islam peserta Pemilu 1971 dan seorang
ketua kelompok persatuan pembangunan, semacam fraksi empat partai Islam
di DPR. Para deklarator itu adalah;
* KH Idham Chalid, Ketua Umum PB Nadhlatul Ulama;
* H.Mohammad Syafaat Mintaredja, SH, Ketua Umum Partai Muslimin Indonesia (Parmusi);
* Haji Anwar Tjokroaminoto, Ketua Umum PSII;
* Haji Rusli Halil, Ketua Umum Partai Islam Perti; dan
* Haji Mayskur, Ketua Kelompok Persatuan Pembangunan di Fraksi DPR.
PPP berasaskan Islam dan berlambangkan
Ka'bah. Akan tetapi dalam perjalanannya, akibat tekanan politik
kekuasaan Orde Baru, PPP pernah menanggalkan asas Islam dan menggunakan
asas Negara Pancasila sesuai dengan sistem politik dan peratururan
perundangan yang berlaku sejak tahun 1984. Pada Muktamar I PPP tahun
1984 PPP secara resmi menggunakan asas Pancasila dan lambang partai
berupa bintang dalam segi lima. Setelah tumbangnya Orde Baru yang
ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto tanggal 21 Mei 1998 dan dia
digantikan oleh Wakil Presiden B.J.Habibie, PPP kembali menggunakan
asas Islam dan lambang Ka'bah. Secara resmi hal itu dilakukan melalui
Muktamar IV akhir tahun 1998. Walau PPP kembali menjadikan Islam sebagai
asas, PPP tetap berkomitemen untuk mendukung keutuhan NKRI berdasarkan
Pancasila. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 AD PPP yang ditetapkan dalam
Muktamar VII Bandung 2011 bahwa: “Tujuan PPP adalah terwujudnya
masyarakat madani yang adil, makmur, sejahtera lahir batin, dan
demokratis dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
berdasarkan Pancasila di bawah rida Allah Subhanahu Wata’ala.”
Ketua Umum DPP PPP yang pertama adalah
H.Mohammad Syafaat Mintaredja, SH yang menjabat sejak tanggal 5 Januari
1973 sampai tahun 1978. Selain jabatan Ketua Umum pada awal berdirinya
PPP juga mengenal presidium partai yang terdiri dari KH.Idham Chalid
sebagai Presiden Partai, H.Mohammad Syafaat Mintaredja, SH,
Drs.H.Th.M.Gobel, Haji Rusli Halil dan Haji Masykur, masing-masing
sebagai Wakil Presiden.
Ketua Umum DPP PPP yang kedua adalah H.
Jailani Naro, SH. Dia menjabat dua periode. Pertama tahun 1978 ketika
H.Mohammad Syafaat Mintaredja mengundurkan diri sampai
diselenggarakannya Muktamar I PPP tahun 1984. Dalam Muktamar I itu Naro
terpilih lagi menjadi Ketua Umum DPP PPP.
Ketua Umum DPP PPP yang ketiga adalah H.
Ismail Hasan Metareum, SH, yang menjabat sejak terpilih dalam Muktamar
II PPP tahun 1989 dan kemudian terpilih kembali dalam Muktamar III tahun
1994.
Ketua Umum DPP PPP yang keempat adalah
H. Hamzah Haz yang terpilih dalam Muktamar IV tahun 1998 dan kemudian
terpilih kembali dalam Muktamar V tahun 2003. Hasil Muktamar V tahun
2003 juga menetapkan jabatan Wakil Ketua Umum Pimpinan Harian Pusat DPP
PPP, yang dipercayakan muktamar kepada mantan Sekjen DPP PPP, H.
Alimawarwan Hanan,SH.
Ketua Umum DPP PPP yang kelima adalah H. Suryadharma Ali yang
terpilih dalam Muktamar VI tahun 2007 dengan Sekretaris Jenderal H.
Irgan Chairul Mahfiz sedangkan Wakil Ketua Umum dipercayakan oleh
muktamar kepada Drs. HA. Chozin Chumaidy. H. Suryadharma Ali kemudian
terpilih kembali menjadi Ketua Umum untuk Masa Bakti 2011-2015 melalui
Muktamar VII PPP 2011 di Bandung
PPP sudah mengikuti sebanyak enam kali
sejak tahun 1977 sampai pemilu dipercepat tahun 1999 dengan hasil yang
fluktuatif, turun naik.
1. Pada Pemilu 1977 PPP meraih
18.745.565 suara atau 29,29 persen). Sedangkan dari sisi perolehan
kursi, PPP mendapatkan 99 kursi atau 27,12 persen dari 360 kursi yang
diperebutkan.
2. Pada Pemilu 1982 PPP meraih
20.871.800 suara atau 27,78 persen. Dari perolehan kursi, PPP
mendapatkan 94 kursi atau 26,11 persen dari 364 kursi yang diperebutkan.
3. Pada Pemilu 1987 PPP meraih
13.701.428 suara arau 15,97 persen. Sedangkan dari perolehan kursi, PPP
meraih 61 kursi atau 15,25 persen dari 400 kursi yang diperebutkan.
4. Pada Pemilu 1992 PPP meraih
16.624.647 suara atau 14,59 persen. Dari sisi perolehan kursi PPP meraih
62 kursi atau 15,50 persen dari 400 kursi yang diperebutkan.
5. Pada Pemilu 1997 PPP meraih
25.340.018 suara. Sedangkan dari sisi perolehan kursi, PPP meraih 89
kursi atau 20,94 persen dari 425 kursi yang diperebutkan.
6. Pada Pemilu 1999 PPP meraih
11.329.905 suara atau 10,71 persen. Dari sisi perolehan kursi, PPP
meraih 58 kursi atau 12,55 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.
7. Pada Pemilu 2004 PPP meraih 9.248.764
atau 8,14 persen. Dari sisi perolehan kursi, PPP tetap meraih 58 kursi
atau 10,54 persen dari 550 kursi yang diperebutkan.
8. Pada Pemilu 2009 PPP meraih 5,5 juta
suara atau 32 persen. Dari sisi perolehan kursi, PPP memperoleh 38 kursi
dari 550 kursi yang diperebutkan.
Daerah yang memberikan konstribusi perolehan kursi atau sebaliknya tidak memberikan konstribusi kursi bagi PPP adalah:
1. Pada Pemilu 1977, PPP meraih kursi
pada 22 provinsi atau 84,62 persen dari 26 provinsi. Provinsi yang tidak
menghasilkan kursi bagi PPP adalah Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa
Tenggara Timur, dan Irian Jaya.
2. Pada Pemilu 1982, PPP meraih kursi
pada 22 provinsi atau 81,84 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak
menghasilkan kursi bagi PPP adalah Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara,
Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Timur Timur.
3. Pada Pemilu 1987, PPP meraih kursi
pada 22 provinsi atau 81,84 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak
menghasilkan kursi bagi PPP adalah Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara,
Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Timur Timur.
4. Pada Pemilu 1992, PPP meraih kursi
pada 18 provinsi atau 66,66 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak
menghasilkan kursi adalah Jambi, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Utara,
Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Timor Timur.
5. Pada Pemilu 1997, PPP meraih kursi
pada 18 provinsi atau 66,66 persen dari 27 provinsi. Provinsi yang tidak
menghasilkan kursi bagi PPP adalah Jambi, Bengkulu, Lampung, Sulawesi
Utara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Timor Timur.
6. Pada Pemilu dipercepat tahun 1999,
PPP meraih kursi pada 24 provinsi atau 88,88 persen dari 27 provinsi.
Provinsi yang tidak menghasilkan kursi bagi PPP adalah Bali, Irian Jaya,
dan Timur Timur.
7. Pada Pemilu 2004, PPP meraih kursi
pada 23 provinsi atau 69.69 persen dari 33 provinsi. Provinsi yang tidak
menghasilkan kursi bagi PPP adalah Babel, Kepri, DIY, Bali, NTT,
Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Irian Jaya Barat, dan Papua
Selama Pemilu yang diselenggarakan
pemerintahan otoriter Orde Baru, PPP selalu berada dalam keadaan
tertindas. Kader-kader PPP dengan segala alat kekuasaan Orde Baru
dipaksa meninggalkan partai, kalau tidak akan dianiaya. Kalau seniman,
tokoh PPP itu tidak akan bisa “manggung” di TVRI, satu-satu stasiun
televisi yang dikontrol Pemerintah. Hal ini dialami oleh H. Rhoma Irama,
Bajuri yang kini dikenal Mat Solar Sopir Bajaj, dan lain-lain. Selama
masa Orde Baru banyak kader-kader PPP terutama di daerah yang ditembak,
dipukul, dan malah ada yang dibunuh. Saksi-saksi PPP diancam, suara yang
diberikan rakyat ke PPP dimanipulasi untuk kemenangan Golkar, mesin
politik Orde Baru. Jadi kalau ada yang menyatakan PPP adalah bagian dari
Orde Baru sangat tidak beralasan.
Namun ada fakta yang terbantahkan bahwa
dalam Pemilu 1999, 2004, dan 2009 suara PPP selalu turun. Ini merupakan
tantangan bagi kepengurusan PPP yang dihasilkan dalam Muktamar VII/2011.
Akankah dalam Pemilu 2014 nanti PPP akan Berjaya atau sebaliknya akan
punah? Pengurus PPP Masa Bakti 2011-2014, juga kader-kader di era itu,
akan memikul dosa sejarah yang tak akan termaafkan jika pada 2014 nanti
PPP terkubur.
Untuk meraih kembali kejayaannya, PPP
memproklamirkan diri sebagai “Rumah Besar Umat Islam.” Menurut Wakil
Ketua Umum DPP PPP 2011-2015, Lukman Hakim Saifuddin, sebagaimana
dijelaskan dalam Rapat Pleno DPP PPP 2011-2015, 21-22 Oktober 2011 di
Jakarta, setidak-tidaknya ada tiga pengertian dari “PPP sebagai Rumah
Besar Umat Islam”, yaitu:
Pertama, PPP merupakan tempat kembalinya
orang Islam, terutama untuk menyalurkan aspirasi dan
menindaklanjutinya. Sebagaimana kita maklumi, di era reformasi banyak
eksponen PPP yang pindah ke partai lain atau mendirikan partai baru.
Selain itu, banyak organisasi Islam yang merupakan pendiri atau
pendukung PPP yang memberikan dukungan kepada partai politik baru.
Namun, di rumah baru itu banyak eksponen PPP yang mengalami kekecewaan.
Nah, saat ini merupakan waktu yang tepat bagi mereka yang telah
meninggalkan PPP untuk kembali lagi berjuang bersama PPP dalam
menyalurkan aspirasi umat Islam serta menindaklanjutinya.
Kedua, PPP merupakan tempat bernaung
atau berlindung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagaimana
kita maklumi, PPP merupakan partai yang paling gigih memperjuangkan
aspirasi umat Islam dari berbagai macam langkah-langkah berbagai
kalangan yang merugikan umat Islam di Indonesia. Hal ini dilakukan sejak
PPP berdiri sampai kini. Sebagai kompensasi atas berdirinya PPP sebagai
partai Islam, maka PPP meredam keinginan sebagian umat Islam itu
sendiri untuk mendirikan negara Islam atau mengganti Pancasila dengan
asas Islam, karena ternyata dalam negara Pancasila masih dimungkinkan
berdirinya partai Islam yang mempunyai kebebasan memperjuangkan aspirasi
umat Islam dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena
itu, keberadaan PPP dalam konteks NKRI sangat penting.
Ketiga, PPP merupakan tempat untuk
menyatukan aspirasi umat Islam dan menindaklanjutinya, sehingga aspirasi
umat Islam dapat terwujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dilihat dari sisi Anggaran Dasar dan
Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PPP, pernyataan “PPP sebagai rumah besar
umat Islam” merupakan penegasan bahwa PPP merupakan hasil fusi atau
gabungan dari beberapa partai politik Islam melalui sebuah deklarasi
bersama pada 5 Januari 1973 (Miladiyah) bertepatan dengan tanggal 30
Dzulqa’dah 1392 (Hijriyah). Jadi, kekuatan utama PPP terletak pada
kemampuannya untuk membangun dan menggalang kebersamaan di antara partai
politik Islam yang melakukan fusi dalam PPP.
Banyak yang berpandangan bahwa PPP hanya
didirikan oleh 4 partai politik saja, yaitu Partai Nahdlatul Ulama
(NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti).
Pandangan itu secara de jure dan de facto salah besar. Secara de jure,
AD/ART PPP tidak pernah menyebut keempat partai Islam itu sebagai
pendiri PPP. AD/ART hanya menyebut bahwa PPP merupakan hasil fusi dari
empat partai politik[1]. Ini berarti para tokoh yang merumuskan
Mukaddimah AD/ART itu yang sejak dulu sampai kini tidak pernah diubah
secara substansial menyadari bahwa selain empat partai politik yang
berfusi itu, masih ada organisasi Islam yang menjadi pendukung dari
keempat partai politik itu yang harus dimasukkan sebagai pendiri PPP.
Masih secara de jure, Khitthah dan
Program Perjuangan PPP juga tidak pernah menyebut keempat partai Islam
itu sebagai pendiri PPP, melainkan menyebutnya sebagai pihak yang
mendeklarasikan PPP[2]. Deklarasi berasal dari kata declare yang berarti
mengumumkan, menjelaskan, menyatakan, atau melaporkan. Ini berarti
Khitthah dan Program Perjuangan PPP juga menegaskan bahwa pendiri PPP
tidak hanya terbatas pada deklarator saja, melainkan di balik itu masih
ada organisasi Islam yang turut mendukung dekralasi itu, sehingga
deklarasi itu bisa terlaksana dengan baik.
Masih secara de jure juga, Keputusan
Presiden No. 70 Tahun 1968 yang mengesahkan pendirian Parmusi juga
menegaskan bahwa pendiri partai politik ini adalah 16 organisasi Islam
yaitu Muhamamdiyah, Jami’atul Washliyah, Gabungan Serikat Buruh Islam
Indonesia (GASBIINDO), Persatuan Islam (Persis), Nahdlatul Wathan,
Mathla’ul Anwar, Serikat Nelayan Islam Indonesia (SNII), Kongres Buruh
Islam Merdeka (KBIM), Persatuan Umat Islam (PUI), Al-Ittihadiyah,
Persatuan Organisasi Buruh Islam se Indonesia (PORBISI), Persatuan Guru
Agama Islam Republik Indonesia (PGAIRI), Himpunan Seni Budaya Islam
(HSBI), Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Al-Irsyad
Al-Islamiyah dan Wanita Islam. Setelah Parmusi bergabung dengan PPP,
maka pendiri Parmusi secara otomatis juga merupakan pendiri PPP.
Hanya saja karena sebagian besar
organisasi Islam pendiri Parmusi itu lebih mengonsentrasikan diri pada
kegiatan sosial kemasyarakatan, sementara AD/ART dan Khitthah Program
Perjuangan PPP berbicara dalam konteks politik, maka wajar jika yang
dinyatakan secara eksplisit hanya partai Islam yang telah diakui sebagai
partai politik, yaitu Partai NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti.
Ringkasnya, secara de jure deklator PPP
adalah 4 partai politik. Namun pendiri PPP adalah hampir seluruh
organisasi Islam yang ada di Indonesia, terutama NU dan Muhammadiyah.
Selain itu secara de facto, klaim bahwa
PPP merupakan rumah besar umat Islam akan terwujud jika dua puluh
organisasi Islam itu yaitu 4 partai politik yang menjadi deklarator
serta 16 organisasi Islam yang menjadi pendukung deklarator memberikan
mandate kepada PPP untuk menyalurkan aspirasinya. Begitu pula
sebaliknya, jika kedua puluh organisasi Islam itu tidak memberikan
dukungan kepada PPP, maka klaim PPP sebagai rumah besar umat Islam hanya
pepesan kosong belaka.
Secara de facto juga, ketika PPP
mendapat dukungan dari dua puluh organisasi Islam itu, PPP berhasil
menorehkan sejarah, baik dari sisi kuantitas maupun dari sisi kualitas.
Bersama organisasi Islam, PPP menjadi partai politik yang gigih
memperjuangkan kepentingan politik umat Islam, dengan segala macam
risiko, seperti penahanan, intimidasi, dan bahkan siksaan. Itu semua
dilakukan oleh aktivis PPP karena mereka yakin bahwa apa yang mereka
lakukan sesuai dengan perintah Allah Subhanahu Wata’ala serta sesuai
dengan aspirasi umat Islam dan organasisasi Islam.
Konsekwensi politik dari kenyataan itu
adalah fungsionaris PPP di tingkat pusat, wilayah, cabang, anak cabang,
dan ranting harus meningkatkan hubungannya dengan partai Islam yang
menjadi deklarator serta dengan organisasi Islam yang mendukung atau
mendirikan partai deklarator PPP itu. Ini penting agar PPP tidak
kehilangan orientasi dan pijakan sejarahnya.
Selain itu, fungsionaris PPP sesuai
dengan tingkatannya tidak perlu ragu-ragu untuk mengangkat aktivis
organisasi Islam sebagai pengurus PPP, sehingga PPP betul-betul dapat
menyuarakan kepentingan umat Islam karena dikawal oleh orang-orang yang
paham akan aspirasi dan perjuangan umat Islam Indonesia. Bahkan,
fungsionaris PPP di berbagai tingkatannya harus memberikan ruang kepada
organisasi Islam untuk dicalonkan oleh PPP sebagai anggota DPR/DPRD
bahkan juga sebagai pejabat publik lainnya.
PPP tidak boleh hanya terpaku pada
“kader jenggot” yaitu kader yang hanya terpampang namanya sebagai
pengurus PPP, namun dalam praktiknya tidak pernah memberikan sumbangsih
kepada PPP. Lebih baik mencalonkan aktivis organisasi Islam sebagai
pejabat publik yang telah memberikan sumbangsih kepada organisasi
Islamnya daripada mencalonkman kader PPP tidak jelas modal sosial dan
sumbangsihnya kepada Islam dan umat Islam. Al-Qur’an menyatakan: khairun
nas, anfa’uhum lin nas. Kalau diterjemahkan dalam konteks pencalonan,
sebaik-baiknya orang yang berhak dicalonkan sebagai pejabat publik oleh
PPP adalah orang yang memberikan sumbangsih besar kepada umat Islam,
baik melalui PPP atau melalui organisasi Islam lainnya.
Dengan modal sejarah itu seharusnya
pengurus PPP di berbagai tingkatan dapat menghimpun dan merangkul
seluruh potensi dan kekuatan umat Islam Indonesia dalam rangka
menegakkan perjuangan para pahlawan yaitu menciptakan baldatun
thayyibatun wa rabbun ghafur (Negara yang adil makmur). Kader-kader PPP
tidak boleh egois dengan menjadikan PPP sebagai miliknya sendiri, lalu
menghalangi masuknya kader umat terbaik yang belum sempat bergabung
dengan PPP. Jika hal ini terjadi, maka kader itu telah melupakan sejarah
PPP bahwa PPP adalah milik seluruh umat Islam, sehingga seluruh umat
Islam juga kader PPP. “Jasmerah, Jangan sekali-kali melupakan sejarah,”
demikian pesan Bung Karno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar